Senin, 09 Juni 2008

Artificial Intelligence: AI

Qaris Tajudin, Wartawan Koran Tempo
Tak ada manusia yang berharap dunia di masa depan akan dikuasai oleh komputer atau AI (artificial intelligence, kecerdasan buatan) seperti dalam The Matrix atau film-film fiksi sains lainnya. Tapi anehnya, para ilmuwan komputer dan mind philosopher berlomba membuat mesin yang mampu berpikir seperti manusia.
Riset-riset mereka didanai dan didukung oleh pihak yang dalam film fiksi sains Hollywood akan menjadi musuh utama AI: angkatan bersenjata Amerika Serikat. Menurut Marvin Minsky, ilmuwan komputer dan matematika yang membuat Laboratorium AI di MIT, setidaknya ada dua alasan kenapa para ilmuwan ingin mewujudkan mimpi ini.
Pertama, kita yakin mesin cerdas akan berguna. Hal ini didasarkan atas pengalaman kita pada mesin-mesin yang lebih dulu diciptakan untuk meringankan pekerjaan otot manusia. "Begitu otot manusia digantikan oleh mesin pada revolusi industri pertama, otak manusia akan digantikannya pada revolusi kedua," kata Clive Sinclair, penemu dari Inggris. Dalam The Age of Spiritual Machines (1999), futuris Ray Kurzweil meramalkan mesin dengan kemampuan intelijen seperti manusia akan muncul dalam dua dekade mendatang, dan akan merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan kita. Saat itu manusia dan mesin menjadi setara. Kurzweil mungkin terlalu optimistis, tapi cukup populer. Sutradara I, Robot, Alex Proyas, meminta semua pemain filmnya untuk membaca buku ini. Kedua, ada "alasan negatif" di baliknya, yaitu kenyataan bahwa konsep tradisional psikologi tidak lagi mampu memberi jawaban terhadap misteri cara kerja otak.
Psikologi eksperimental tak pernah lagi memberi jawaban yang meyakinkan terhadap soal-soal, seperti bagaimana manusia mengenali sesuatu? Bagaimana otak kita membuat keputusan? Bagaimana kita menciptakan ide baru? Bagaimana kita belajar dari pengalaman? Semua pertanyaan lain yang terkait dengan cara berpikir, berkesadaran, dan berperasaan. Minsky dan rekan-rekannya berharap kebuntuan itu dapat dipecahkan dengan mempelajari cara komputer berpikir. Intinya, mempelajari komputer untuk mengerti otak manusia. Analoginya begini: "Untuk memahami apa yang membuat burung bisa terbang, Anda bisa melihatnya pada kapal terbang," tulis John Brockman dalam The Third Culture: Beyond the Scientific Revolution. Seabad yang lalu, tak ada orang yang berpikir untuk membuat mesin cerdas.
Baru pada 1940-an riset lapangan tentang AI--yang saat itu disebut sebagai cybernetics--dimulai. Lalu ranah ini diisi oleh ilmuwan dari berbagai disiplin, mulai komputer, bahasa, psikologi, hingga ahli saraf. Pada 1950-an komputer modern mulai muncul, dan pembahasan tentang AI bergeliat. Salah satu riset AI awal yang paling populer adalah yang dilakukan oleh John McCarthy di Dartmouth Conference pada 1956.
Menurut dia, AI adalah making a machine behave in ways that would be called intelligent if a human were so behaving. Definisi ini mengikuti definisi Alan Turing dalam Computing Machinery and Intelligence (Mind, Oktober 1950). Dengan definisi ini, keduanya seperti menolak kemungkinan terciptanya AI. Pada 1960-an penelitian tentang AI mulai tumbuh. Hal ini dipicu dengan munculnya komputer bermemori besar dan pengolahan data yang lebih cepat. Pada 1970-an mulai banyak tercipta sistem yang berguna. Dan kini, "Komputer kita telah cukup kuat untuk mensimulasikan otak buatan (artificial mind)," kata Minsky dalam Smart Machines. Namun, itu bukan berarti sudah muncul AI yang sempurna (strong AI) dan mampu bekerja seperti otak kita. Problemnya adalah setiap "sistem cerdas" itu hanya mampu untuk menjalankan aplikasi tunggal yang amat khusus (weak AI). Mereka bisa lebih cerdas dari kita pada satu bidang, tapi sama sekali dungu di bidang lain. Contohnya, program komputer untuk bermain catur. Sering kali kecerdasan mereka mampu mempecundangi Garry Kasparov.
Di sisi lain ada program komputer untuk menyelesaikan masalah matematika yang bisa membuat ahli matematika seperti Bertrand Russell mati kutu. Tapi masalahnya, program catur tidak dapat mengerjakan soal matematika, demikian juga sebaliknya dengan program matematika. Padahal otak Kasparov bisa mengerjakan soal matematika dan Russell bisa main catur. Kecerdasan pada satu bidang seperti ini tidak cukup untuk mengatakan mereka sebagai kembaran otak manusia. Masalah ini bisa selesai jika berbagai program itu tergabung dalam program utama dan bersinergi.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada yang bisa membuat program utama seperti itu. Kapasitas memori dan kecepatan prosesor komputer untuk mengolah data mungkin sudah mampu membuat mereka berpikir seperti manusia, tapi tidak ada peranti lunak yang mampu bekerja dengan cara kerja otak kita. Software adalah problem utama yang dihadapi para ahli AI, karena ini terkait langsung dengan kerumitan cara kerja otak manusia. Sebenarnya di sinilah letak perbedaan utama komputer dan otak manusia.
Jika komputer hanya punya satu cara untuk menyelesaikan masalah, manusia memiliki berbagai pendekatan. Ada ratusan atau bahkan ribuan prinsip yang dijalankan secara bersamaan oleh otak kita untuk melihat satu hal saja. Itulah kenapa saat bermain kartu kita tidak hanya memikirkan kartu apa yang akan kita buang, tapi juga mirip siapa gambar raja dalam kartu King. Keberagaman inilah yang sebenarnya sering membuat kita kehilangan fokus. Tapi keberagaman juga yang membuat kita istimewa. "Menurut saya, perbedaan paling mencolok adalah program komputer bisa lumpuh total hanya dengan satu kesalahan. Di sisi lain, seorang manusia jika otaknya gagal untuk mengerjakan sesuatu dengan satu cara, ia akan mencari jalan lain. Kita jarang bergantung pada satu metode saja. Kita biasanya mengetahui sejumlah cara berbeda untuk melakukan satu hal, jadi kalau salah satunya gagal, kita masih punya cara lain," tulis Minsky. Kalaupun semua cara yang pernah kita ingat tak berhasil, kita berusaha menciptakan cara baru. Inilah yang disebut dengan "mekanisme belajar".
Berbeda dengan komputer yang berhenti ketika terjadi ketidakberesan, otak manusia justru bekerja jika ada ketidakberesan. Rasa ingin tahu manusia mulai tergelitik justru saat ada yang berjalan tidak dengan semestinya. Saat pelayan restoran datang dengan pesanan yang sesuai dengan yang kita pesan, tak ada yang terpikir. Tapi saat pesanan itu tidak sesuai dengan yang kita inginkan, otak kita bertanya, 'kenapa?' 'kok begini sih?' "Anda belajar sesuatu saat ada yang berjalan di luar yang Anda inginkan," kata Roger Schank, ilmuwan komputer dan psikolog kognitif yang menjadi direktur Institute for the Learning Sciences, Northwestern University, dalam Information is Surprises. "Kenormalan" justru membuat kita bosan, karena tak ada ketidakberesan yang bisa kita pelajari. Menurut dia, manusia menginginkan dunia berjalan "dengan semestinya", zonder ketidakberesan. Tapi saat yang semestinya berlaku, manusia menjadi bosan. "Saat orang bilang mereka bosan, yang mereka maksudkan adalah tidak ada yang dapat mereka pelajari. Mereka tak lagi bosan begitu ada sesuatu yang dipelajari," kata Schank.
Berdasarkan inilah Frank Rosenblatt pada 1950-an menciptakan mesin yang dinamai Perceptrons. Aspek baru pada skema Rosenblatt adalah membuat mesinnya belajar hanya dari kesalahan. Mesin itu tidak memberi respons saat yang terjadi adalah yang semestinya. Entah kenapa mesin yang masih sederhana ini tidak dikembangkan lebih jauh di masa kini. Belajar, baik dari kesalahan atau yang lainnya, adalah cara otomatis pada otak manusia untuk berkembang. Dengan demikian, AI baru dapat disejajarkan dengan otak manusia jika ia mampu menjadi mesin yang belajar (learning machine), "Tapi bagaimana cara dia belajar?" tanya Schank. "Itu artinya dia (AI) harus membaca New York Times setiap hari. Dia harus bertanya. Harus mengobrol. Tak ada konsep mesin cerdas tanpa itu semua." AI memang bisa diprogram untuk selalu menambah informasi, tapi bagaimana ia menyeleksi informasi apa saja yang harus masuk dan yang tak perlu masuk? Tak mudah menjelaskannya, karena otak manusia memiliki mekanisme yang kompleks dalam mengumpulkan informasi. Manusia menimba informasi, salah satunya adalah untuk survive. Keinginan untuk survive tidak hanya mendorong manusia untuk makan dan mempertahankan diri, tapi juga menimba informasi yang ia perlukan. Ketakutan akan kefanaan, konsep yang tidak dikenal oleh mesin, adalah faktor utama yang mendorong otak kita untuk selalu meng-update diri dan belajar.
Oleh karena itu, Schank tidak setuju dengan kurikulum sekolah yang cenderung menuang informasi apa saja ke dalam otak murid. Otak manusia bukan AI yang tak memiliki sistem seleksi dalam menelan data. Otak manusia akan secara otomatis menimba informasi sesuai dengan yang diperlukan dan diinginkannya. Sekolah hanya bertugas menumbuhkan keingintahuan akan informasi, bukan menjejalinya. Mekanisme belajar tentu bukan cuma soal mengumpulkan informasi, tapi juga bagaimana memanggilnya, membuat indeks dari informasi yang dimiliki, mencari informasi yang disimpan, dan menghubungkan antara satu data dan data lainnya. Otak manusia memiliki cara kerja pencarian data yang unik, yang susah disamai oleh AI. Dalam Dynamic Memory, Schank mencoba mengurai misteri otak dalam mengenali dan memanggil memorinya. Konsep dynamic memory inilah yang merupakan pekerjaan rumah Schank. "Kerja terpenting saya adalah bagaimana membuat komputer mengingat informasi seperti cara manusia mengingatnya." Kita mungkin sering memakai fasilitas Find pada komputer atau menggunakan mesin pencari Google untuk mengumpulkan informasi.
Untuk menjaring informasi yang kita inginkan, kita harus mengetikkan satu kata kunci (keyword). Dalam hitungan detik, ribuan atau jutaan data yang mengandung kata itu akan muncul di monitor. Otak kita yang lebih pikun dari komputer juga mengenal keyword saat memanggil informasi yang tersimpan. Bedanya, keyword atau indeks di otak kita lebih unik dan kompleks. Untuk mengilustrasikan hal itu, dalam Dynamic Memory Schank menceritakan kisah tentang steak dan cukur rambut. Ia pernah bercerita kepada temannya bahwa istrinya memasak steak tidak sesuai dengan keinginannya, selalu terlalu matang. Tiba-tiba temannya berkata, "Well, itu mengingatkanku pada saat aku dicukur tidak sependek yang kuinginkan, 30 tahun lalu di Inggris." Pertanyaannya, bagaimana masalah potong rambut bisa muncul di saat mereka bicara tentang steak? Bukankah tak ada keyword yang menyatukannya? Apa hubungan antara steak dan barber? Tentu saja ada hubungannya, meski tak kentara. Kedua pengalaman itu terjadi saat kita dilayani dengan sesuatu yang tidak kita inginkan. Keduanya tersimpan dalam indeks yang sama di otak teman Schank, yaitu indeks pelayanan-pelayanan yang tidak sesuai dengan keinginan.
Pertanyaan kedua, kenapa teman Schank mengindeks informasi seperti itu? "Jawabnya, karena Anda ingin memahami semesta dan Anda perlu untuk mencocokkan apa yang terjadi saat ini dengan pengalaman masa lalu," tulis Schank. Keinginan inilah yang mungkin susah diformulasikan pada mesin. Ia memilih istilah case-based reasoning untuk pencocokan ini. Ia juga punya teori MOP dan TOP (memory-organization packet dan theme-organization packet) untuk menjelaskan pemberian label pada setiap informasi dalam otak kita. Tema-tema itulah yang akan membuat pengalaman di masa lalu muncul saat kita mengalami kejadian yang mirip di masa kini. Pengalaman, menurut Schank, adalah salah satu pembeda antara manusia dan mesin. Kita tak mungkin mengatakan telah belajar tentang makanan dan minuman hanya dengan membaca artikel kuliner, menonton filmnya, dan menghafal trik-triknya. "Menghafal semua aturan atau mendiskusikan prinsip-prinsip kuliner tidak berguna sama sekali jika kamu tidak makan dan minum," kata Schank. Bahasa adalah obyek penelitian lain para ahli AI. Hampir semua ahli yang bekerja di bidang ini menjadikan bahasa sebagai salah satu titik tolak penelitian. Steven Pinker, psikolog eksperimental di Department of Brain and Cognitive Sciences, MIT, adalah salah satunya. Dalam Language Is a Human Instinct ia menganggap kemampuan berbahasa dalam otak manusia sebagai insting yang tidak mungkin disamai oleh software komputer tercanggih. Untuk sampai pada kesimpulan ini ia menggabungkan ide Noam Chomsky tentang karakter bahasa dan paham Darwinian dalam menjelaskan kemampuan berbahasa manusia. Dalam Aspect of the Theory of Syntax, Chomsky memang mengatakan bahwa bahasa bukan sekadar memori dan bahasa harus dipelajari sebagai sebuah abstrak. Keabstrakan bahasa inilah yang sulit dimengerti oleh komputer yang berpikir eksak (pasti). Kalimat "John menyukai buku" tidak harus berarti John suka membaca buku. Bisa saja John memang menyukai buku, tapi tak pernah membacanya. Itulah kenapa otak Sutardji Calzoum Bachri dapat mendestruksi arti kata-kata dalam puisi-puisinya di O, Amuk, Kapak.
Sampai saat ini banyak halangan dalam penciptaan otak sintetis yang belum dapat dipecahkan oleh para ahli. Itulah kenapa, setelah 20 tahun bekerja di bidang ini Schank masih menganggap penciptaan strong AI adalah sesuatu yang hampir mustahil. "Tak ada jalan pintas menuju ke sana.... Waktu yang saya perlukan untuk mewujudkan hal itu lebih lama dari umur saya sendiri."
Sumber : www.korantempo.com/news/2005/

Tidak ada komentar: